Mari Kita Bangun (lagi) Bangsa Kita !

Kata “pembangunan” sering kita dengar pada awal kejayaan orde baru di tahun 70-an, sampai dengan akhir 80-an. Bahkan pada tahun 1983 Suharto ditetapkan sebagai “Bapak Pembanguan Nasional”.

Kalau bicara soal keberhasilan pembangunan, mungkin yang segera terbayang adalah banyaknya gedung-gedung tinggi pencakar langit, jalan-jalan beraspal hotmix, atau jalan tol yang mulus, ditambah lagi jalan layang di kota-kota besar. Pesawat terbang menderu setiap saat dengan penumpang dari kalangan “bawah” sampai “atas”. Keberhasilan pembangunan bisa juga diidentikkan dengan banyaknya mobil mewah berkeliaran di jalan, banyaknya penduduk yang punya TV, mobil, sepeda motor, HP, VCD, dll. Atau di kalangan industriawan, pembangunan tentu diartikan sebagai kegiatan memperluas ekspansi usaha mereka ke berbagai daerah ataupun manca negara.

Namun kalau kita kaitkan dengan “membangun manusia Indonesia seutuhnya”, sedikit uraian di atas sebenarnya hanyalah “sarana” menuju pembangunan, bukan “tujuan”. Sangat keliru kalau kita mengukur keberhasilan pembangunan dengan parameter “sarana” tersebut di atas.

Kemajuan pembangunan harus dikaitkan dengan sudah sejauh mana bangsa kita bisa mandiri secara politik dan ekonomi, serta bangga pada budaya luhur / budi pekerti bangsa sendiri dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Selagi ekonomi bangsa kita masih sangat tergantung kepada bangsa lain; kalau politik kita masih didominasi bangsa “adi daya”, berarti tujuan pembangunan nasional belumlah tercapai.

Selagi bangsa kita masih menjadikan korupsi, kolusi, nepotisme sebagai budaya –bung Hatta pernah bilang bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia—apakah kita berhak mengklaim bangsa kita sudah “membangun” ?

Belum lagi kita bahas tentang peredaran karkoba yang merajalela dimana-mana (konon di-backing “oknum”) yang berakibat rusaknya masa depan generasi muda bangsa kita. Judi (terang-terangan atau terselubung) menyebar sampai ke pelosok (padahal ada UU anti-judi).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hotel-hotel dan diskotik adalah tempat transaksi dan konsumsi narkoba yang “aman” (termasuk transaksi ‘sex’ juga). Bahkan lapangan golf juga bisa menjadi ajang perantara perbuatan ‘a susila’.

Kalau sudah begini, ada yang berpendapat “ah, biasalah, semua itu ‘kan dampak dari pembangunan”. Nah, masalahnya dampak negatif itulah yang justru dominan kita saksikan pada hari ini.

Budaya kita sebagai bangsa yang berbudi pekerti luhur, gotong-royong, tolong-menolong, tepo seliro, sudah hampir terkikis dilanda budaya “siapa lu siapa gua”, budaya “selingkuh”, budaya “menghalalkan segala cara”, dll.

Solusinya sederhana saja : SELAMATKAN DIRI DAN KELUARGAMU DARI KEHANCURAN !
Kalau semua kepala keluarga sudah memahami kelemahan bangsa ini, janganlah menyalahkan keadaan lagi ! Mari kita introspeksi “dosa-dosa politik, ekonomi, sosial dan budaya” yang telah kita buat selama ini, kemudian kita tekadkan untuk tidak mengulanginya lagi di masa datang.

Tugas berat ? Emang ! Justru di sinilah letaknya nilai perjuangan kita dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya. Kalau nggak kita mulai dari sekarang, kapan lagi bangsa kita akan menjadi manusia yang utuh ?

Comments

Popular posts from this blog

Sifat-sifat Tuhan ada pada semua manusia

Praktek Manipulasi di Perkebunan Kelapa Sawit

Tuhan telah memberikan lebih daripada yang kupinta