Posts

Showing posts from 2011

Koq diributkan : "Freeport ngasih 'uang keamanan" untuk aparat"

Tiba-tiba kita seolah-olah tersentak kaget mendengar kabar bahwa Freeport mengeluarkan dana jutaan dollar kepada polisi atau tentara untuk mengamankan perusahaan pengeruk hasil bumi Papua itu... Padahal mereka sudah bayar pajak, retribusi, atau apalah namanya yang secara resmi masuk ke APBN kita; lantas kenapa masih harus ada lagi 'sumbangan' kepada pihak keamanan negara yang memang tugasnya mengamankan negara [tanpa kecuali] ? Sejak 20 tahun lalu saya bekerja di perkebunan sawit dari Riau, Aceh, Sumbar, Kalteng dan Kalbar, sudah suatu hal yang lumrah apabila perkebunan mengalami masalah kamtibmas, lalu minta bantuan kepada pihak yang berwajib [baca : polisi], maka petugas yang dikirim ke kebun itu diberi semacam 'honor' oleh pihak kebun yang jumlahnya telah disepakati antara pihak kebun dangan sang komandan. Dan sekalian pak komandan yang memerintahkan anak buahnya itu dapat 'angpau' juga. Di zaman orba, kita masih bisa memakai tentara sebagai tenaga pengaman

Hari Sumpah Pemuda

Sebagaimana kita ketahui, hari ini 28 Oktober, adalah hari sumpah pemuda. Tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari dilaksanakannya kongres pemuda (waktu itu Indonesia masih dijajah Belanda). Hasil kongres tersebutlah yang kita kenal saat ini sebagai SUMPAH PEMUDA : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Kiranya ketiga sumpah tersebut masih sangat relevan untuk kita perbincangkan berkaitan dengan situasi dan kondisi pemuda pada saat ini. Tidak hanya pemuda, bahkan seluruh rakyat Indonesia tentunya. Kenapa ? Generasi kita yang hidup saat ini tidak ada lagi yang terlibat langsung dalam perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang. tidak ada lagi yang teribat revolusi fisik di awal-awal kemerdekaan. Kita lahir dan mendapati negara sudah dalam keadaan merdeka. Sekolah sudah tersedia, lapangan ker

Salah kaprah tentang lembur (overtime)

Pembayaran kerja lembur (overtime) diberikan kepada karyawan yang bekerja di luar jam kerja, atau pada hari libur. Menurut UU 13/2003 PASAL 78 AYAT 1.b. "Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3(tiga) jam dalam waktu 1 (satu) hari dan 14 jam dalam satu minggu". Lembur bagi karyawan biasanya diharapkan menjadi 'tambahan pendapatan' di luar gaji pokoknya. Sedangkan lembur karyawan tersebut bagi pengusaha [baca : pimpinan perusahaan] biasanya dianggap menjadi 'tambahan biaya' yang sedapat mungkin diminimalisir, atau kalau bisa dihilangkan. Kedua pandangan di atas tidaklah mutlak benar dan tidak pula salah. Ada tiga kondisi yang menjadi alasan dilaksanakan lembur : 1. Ada pekerjaan yang bersifat urgent dan tidak bisa ditunda. 2. Ada perintah dari atasan karyawan tersebut. 3. Karyawan yang diperintah bersedia melaksanakan pekerjaan lembur. Nah, kalau UU 13/2003 dan ketiga hal di atas benar-benar dipedomani, maka tidak akan ada saling curiga antara p

Lead by example

Bagi saya, tidaklah susah menjadi pemimpin. Sejak bekerja di perkebunan kelapa sawit tahun 1990, saya selalu berusaha memimpin bawahan dengan memberikan contoh. Artinya apa yang saya ucapkan atau yang saya perintahkan, sedapat mungkin saya berikan contohnya dalam perbuatan saya. Misalnya saya melarang semua anak buah saya melakukan korupsi, kolusi atau manipulasi; maka saya buktikan bahwa saya tidak pernah melakukan semuanya itu. Saya tidak pernah 'main mata' dengan kontraktor ataupun supplier. Kalau saya mengundang staff saya rapat pukul sembilan, maka sepuluh menit minimal sebelum rapat dimulai, saya sudah hadir di ruang rapat. Saya menekankan kejujuran dalam bekerja kepada semua anak buah saya, maka saya pun memberikan contoh kejujuran kepada mereka... Ya, lead by example; memimpin dengan memberi contoh. Terbukti sangat ampuh dalam menjalankan operasional sehari-hari organisasi. Dapat anda bayangkan seandainya seorang pemimpin menyuruh anak buahnya masuk kantor pukul 7 pagi,

Salah Jurusan

Ketika masuk SMA pada tahun 1979, saya sudah 'diindoktrinasi' oleh hampir semua orang bahwa saya harus memilih jurusan IPA [waktu itu pemilihan jurusan adalah semester II dan jurusan yang ada : IPA, IPS dan Bahasa]. Kenapa ? Karena sejak SD sampai SMP ranking raport saya selalu 3 besar (lebih banyak juara I lagi). Sebenarnya saya sangat tertarik pada pelajaran-pelajran di bidang sejarah, sosial, serta ekonomi. Akan tetapi -- yang pengaruh lingkungan tadi-- saya 'terpaksa' memilih IPA, apalagi pada semester I saya dapat rangking I di kelas I-5 itu. Nggak ada sejarahnya siswa rangking I memilih jurusan IPS ataupun Bahasa.... Jadilah saya siswa jurusan IPA. Untungnya saya punya kakak sepupu setingkat di atas saya. Dia meminjamkan --tepatnya memberikan-- semua catatannya kepada saya. Luar biasa memang. Kenapa ? Karena soal-soal yang diberikan guru saya [terutama Kimia dan Fisika] persis banget dengan yang ada di buku kakak sepupu saya itu. Dan kayaknya teman-teman sek

Menjadi Anggota Legislatif

Apa bedanya kalau saya jadi anggota legislatif/DPR dibanding dengan profesi saya sekarang sebagai karyawan perusahaan perkebunan kelapa sawit ? Sekilas kelihatannya hampir sama saja. Artinya kalau saya jadi anggota DPR, saya juga bekerja dan mendapat upah/gaji seperti karyawan perkebunan. Hanya saja kalau di DPR gajinya dibayar Pemerintah, sedangkan di swasta, gajinga dibayar pemilik/owner. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Menjadi anggota DPR adalah suatu panggilan nurani. Panggilan bagi orang-orang yang benar-benar berniat dan siap memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Sedangkan menjadi karyawan, hanyalah 'menjual keringat' kepada pengusaha, lalu pengusaha membayar keringat saya bulan per bulan, plus fasilitas kerja, THR dan bonus tahunan. Jadi, menjadi anggota dewan, bukanlah profesi, sebagaimana PNS ataupun karyawan swasta. Kalau saya mau jadi anggota dewan, saya harus punya cadangan uang untuk hidup --minimal-- lima tahun ke depan, saya harus

Memperjuangkan Hak Kaum Buruh

Sejak aku bekerja di perkebunan kelapa sawit di tahun 1990 hingga saat ini, ada satu masalah yang sering menimbulkan konflik bathin dalam diriku, yaitu hak-hak kaum buruh. Betapa tidak ? Aku tahu betul bagaimana 'kiat-kiat' para pengusaha untuk menekan hak-hak kaum buruh. Mulai dari status buruh, penyediaan sarana perumahan/listrik/air, balai pengobatan, sekolah, rumah ibadah, Jamsostek; hak lembur/premi/insentif, serta cuti, dan bonus. Pengusaha lebih suka kalau pekerjaan diborongkan atau dikontrakkan saja, sehingga semua hak-hak buruh adalah tanggungan kontraktor. Ataupun kalau jadi karyawan, cukup jadi buruh harian lepas saja (BHL), sehingga perusahaan tidak repot mengurus hak-hak para buruh. Pengusaha sering melupakan bahwa buruh adalah "ujung tombak perusahaan". Bayangkan misalnya kalau tidak ada lagi orang yang mau menjadi buruh, tentu tidak akan ada yang memanen kelapa sawit, misalnya. Tidak akan ada lagi yang menabur pupuk dari pokok ke pokok sawit, d

Menunggu 'Bola Muntah'

Istilah 'bola muntah' memang biasa dipakai dalam dunia persepakbolaan. Misalnya seorang pemain menunggu 'duel udara' antara dua pemain di depan gawang, nah tiba-tiba bola terlepas dari kedua pemain yang berduel tersebut dan langsung disambar oleh penunggu 'bola muntah', sehingga dengan segera bola ditendang ke arah gawang, dan......gooooooooool. Dalam kegiatan sehari-hari, tidak sedikit orang yang menganut 'ajaran menunggu bola muntah'; baik di kampus, di perusahaan, di instansi pemerintah, ataupun di partai politik. Orang semacam itu bisa dikategorikan kepada 'golongan oportunis'. Kenapa ? Karena mereka tidak mau terlibat dalam perjuangan, namun apabila apa yang diperjuangkan itu tercapai, justru merekalah yang terlebih dahulu berkoar-koar bahwa itu adalah usaha mereka, dan mereka tidak segan-segan berebut 'hasil' dari perjuangan itu. Orang oportunis tidak mau diajak memperjuangkan apa pun, karena mereka tidak mau mengambil risiko. Merek