Orang Gila Baru ?

Sering diberitakan tentang adanya mantan caleg (calon anggota legislatif) , atau mantan cagub (calon gubernur), cabup (calon bupati) yang tidak terpilih mengalami stress berat, setengah gila, atau gila betulan.

Kenapa ? Karena mereka sudah ke luar biaya ratusan juta rupiah, atau malah milyaran, lalu ‘estimasi’ jauh meleset ! Mereka kalah !
Lantas apanya yang salah dalam hal ini ? Bukankah soal kalah dan memang adalah hal yang biasa dalam sebuah ‘pertarungan’ ?

Sudah bukan rahasia lagi, sejak 10 tahun terakhir ini, siapa yang berambisi mau jadi caleg, cabup atau cagub haruslah mempunyai ‘fulus’ yang tebal. Atau kalau tidak punya sendiri, minimal bisa “menggaet” pengusaha sebagai ‘penyandang dana’ bagi sang bakal calon (balon).

Untuk apa saja ‘fulus’ itu ? Banyak sekali alokasinya. Mulai dari biaya pendaftaran ke partai sebagai ‘perahu politik’ (bagi yang tak punya partai); biaya pendaftaran ke KPU; sampai ke biaya kampanye (cetak kaus, spanduk, sewa artis, sound system, sewa gedung, sewa security, kendaraan, pengarahan massa, dll.).

Money politics ? Belum lagi dihitung. Balon --atau team sukses-- yang nekad tak segan-segan membagi-bagikan duit (dengan berbagai cara) kepada calon pemilih agar calon mereka bisa ‘goal’ !
Nah; ketika sang balon tidak terpilih.......di situlah banyak muncul orang-orang gila baru (OGB) tadi.....

Bagaimana kalau kita buat proses yang sederhana saja tanpa mengubah UU atau aturan hukum yang sudah ada, sehingga tidak ada yang jadi korban ? Misalnya begini :

1) Beberapa pengurus partai, orsos, atau ormas mendatangi sesorang, atau tokoh yang mereka nilai berpotensi menjadi caleg, cabup, cawako, atau cagub.

2) Pengurus mengutarakan rencana untuk mencalokan sang tokoh.

3) Sang tokoh bersedia dengan catatan bahwa dia tidak ambisius sama sekali, namun kalau mayoritas rakyat memang memilih dia, maka dia siap jadi memimpin.

4) Sang tokoh (atau calon) segera menyusun visi dan misinya yang akan dijadikan pedoman apabila dia nanti terpilih.

5) Selanjutnya pengurus (mungkin disebut nantinya ‘tim sukses’) yang akan mengurus proses pencalonan, sampai kampanye.

6) Kampanye tidak usah mengerahkan massa; cukup dengan spanduk, selebaran yang diantara door to door, atau kampanye dialogis dengan calon pemilih di gedung tertutup; atau bagi yang punya internet, website, atau minimal facebook, bisa mengikuti visi misi sang calon di ‘dunia maya’.

7) Pada hari-H semua pemilih berbondong-bondong menyontreng pilihan mereka secara langsung, umum, bebas, dan rahasia (atau kalau mau ditambah lagi : jujur dan adil).

8) Semua ‘balon’ sepakat, siapa pun yang menang akan didukung. Tak ada deal apa pun di antara para ‘balon’, kecuali kebulatan tekad untuk secara bersama-sama memajukan rakyat mereka.

9) Beberapa hari kemudian KPU mengumumkan pemenang.

10) Rakyat bercuka cita menyambut pemimpin baru mereka.

11) Yang kalah memberikan ucapan selamat kepada pemenang. Sedangkan pemenang terharu dan mengucapkan innalillahi wainna ilaihi roji’uuun.

12) Pelantikan dilakukan secara sederhana di gedung dewan (nggak usah di hotel) dengan mengundang rakyat jelata (disertai sedikit hiburan kebudayaan daerah dan sedikir juadah kecil).
Kalau cara ini yang diterapkan tentu tidak akan ada orang stress berat, gila, setengah gila; tak akan ada korban akibat pengerahan masa, atau jatuh kelindas truk; tak akan ada perkelahian massal atau lempar-lemparan batu, dst. dst.

Bisakah prosedur seperti di atas kita laksanakan ? Kalau kita sepakat dan sama-sama bertekad melakukan perubahan, apa sih yang tidak bisa ?

Comments

Okta Johar said…
Sudah jadi rahasia umum ya Pak.. Ada oknum yang jadi anggota dewan, bukan karena keinginan untuk mengabdi pada bangsa, tapi lebih besar karena keinginan untuk mencari uang dan presitise semata..

Popular posts from this blog

Sifat-sifat Tuhan ada pada semua manusia

Praktek Manipulasi di Perkebunan Kelapa Sawit

Tuhan telah memberikan lebih daripada yang kupinta